Wednesday, November 6, 2019

LOGE DE VRIENDSCHAP VAN SOERABAIA CAGAR BUDAYA INDONESIA YANG TERLUPAKAN

Gedung Loge de Vriendschap pada tahun 1800an dengan tahun 2018

PROLOG
KENANGAN
KEPADA PENDONOR GEDUNG INI
B.H.J. van CATTENBURCH
MENINGGAL 29 AGUSTUS 1881
Dapat diartikan bahwa gedung dari Loge de Vriendscap merupakan gedung milik B.H.J. van Cattenburch yang disumbangkan kepada perkumpulan Vriendscap sebagai tempat berkumpul. 

Prasasti ini terletak disamping kanan pintu masuk.
 
Warga Surabaya sendiri juga mengenalnya dengan nama gedung setan. De Vriendshcap dalam bahasa Indonesia berarti Persahabatan. Loge ini didirikan pada 28 September 1809. Inisiator pendirinya adalah Jacobus Albertus van Middelkop seorang ridder-landdrost (kesatria-penguasa) di Java’s Oosthoek (jawa bagian timur) dan juga pemilik Spookhuis didaerah Banyu Urip sekarang. Loge De Vriendschap juga sering disebut dengan Loge Toendjoengan, karena letaknya yang berada di wilayah Tunjungan depan Hotel Majapahit, pusat bisnis dan berkumpulnya orang-orang Eropa ketika itu. Loge ini didirikan pada masa pemerintahan Herman Willem Daendels (1801-1811) yang juga seorang Mason. Di Surabaya pada masa lalu banyak orang-orang Eropa, diantara Jerman dan Belanda, yang sebagian dari mereka berdarah Yahudi dan menjadi anggota Freemason. Loge De Vriendschap termasuk dari tiga loge terbesar di Hindia Belanda, setelah Loge De Ster in het Oosten di Batavia dan Loge La Constante et Fidale di Semarang. 

Perbandingan ruangan didekat pintu masuk gedung Loge
GEDUNG LOGE DE VRIENDSCHAP 

Jika dilihat dari gambar lama, ruangan yang terletak disebelah kiri pintu masuk ini seperti ruang tamu atau ruang pertemuan dan diskusi. Cukup yakin bahwa foto lama posisinya seperti lokasi pada foto. Hal ini diperkuat dengan lokasi dan bentuk jendela yang sama. Pada awalnya organisasi ini masih memakai rumah-rumah pribadi anggota karena saat itu belum memiliki gedung sendiri, tapi kondisi ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 1811 tuan van Cattenburch menyerahkan sebuah lahan untuk mendirikan sebuah gedung loji, dalam sebuah akta notaris ditetapkan sebagai berikut: “Pada hari ini tanggal 12 Juli 1811, mewakili Leendert Top penulis kerajaan dan kekaisaran, mantan kepala adsministrasi B.H.J. van Cattenburch yang menyatakan keiklasan dan kerelaan menyerahkan padanya seperti yang dia lakukan demi kepentingan organisasi loji De Vrienschap sebidang tanah di jalan yang menuju Simpang selebar 20 kali 30 roed, dengan jangka waktu 100 tahun terhitung sejak hari ini, dengan syarat bahwa apabila organisasi De Vriendschap harus dibubarkan, bidang tanah itu kembali kepada wakil atau pemilik tanah tersebut dengan jaminan sesuai hak-haknya”.Sebuah kepengurusan dibentuk pada bulan Mei 1814, hanya saja kepengurusan ini bertahan sampai tahun 1854 (dibubarkan). De Vriendschap pada masa seabad (1809-1909) dibedakan dalam tiga masa. Masa pertama ditandai dengan karya sosial, masa kedua dengan pelaksanaan berbagai karya masyarakat, masa ketiga pendidikan jasmani dan rohani anggota lebih diutamakan. 

perbandingan ruang utama pada tahun 1800an dengan tahun 2018

bagian sebaliknya dari gambar sebelumnya, perhatikan gambar lantainya


Pada masa pertama sekitar abad XIX, pengurus banyak berkarya untuk tujuan sosial seperti pembangunan tempat ibadah, membantu penanganan kebakaran di Krembangan, membantu fakir miskin di panti asuhan, membantu kebutuhan air di Blitar, dll. Pada gambar lama tampak ruangan pertemuan anggota yang cukup luas, karena lokasi pemotretan yang diujung ruangan. Kesulitan pengambilan gambar yg sama dengan posisi gambar lama dikarenakan ruang ini sekarang terdapat sekat-sekat yang difungsikan sebagai tempat tinggal penjaga bangunan ini. Bukti bahwa lokasi foto lama adalah ruangan ini ada pada bentuk jendela dan lubang ventilasi dari ruangan ini. Bukti lain adalah pintu pada gambar sudah membuktikan kebenaran lokasi ini. 

Lambang dilantai di ruang utama pada gambar sebelumnya

Lambang berikut terdapat di bagian utama ruang pembelajaran. Keadaaan dari lambang ini sangat baik sekali karena hampir semua lambang tampak terlihat jelas. Gedung ini pada masa Bersiap atau masa perang pasca Indonesia merdeka pernah digunakan sebagai tempat Palang Merah Internasional dan penampungan orang-orang Belanda bekas tawanan dari luar kota Surabaya (Interniran perang) yang pada umumnya merupakan rakyat keturunan Belanda yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah kolonial Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Lambang diatas memiliki banyak arti yang diwakili dari setiap gambar, gambar tali menandakan ikatan anggota mason, gapura melambangkan rumah atau pintu masuk bagi anggota mason yang baru, peralatan pertukangan melambangkan peralatan yang digunakan mason dalam melaksanakan tugas mulia (terkait dengan rasional dan IPTEK), Buku dan Jangka melambangkan sains, keteraturan geometrik, keseimbangan rasionalitas, jendela melambangkan kehidupan diluar yang masih sangat banyak akan ilmu pengetahuan yang lainnya, jam pasir melambangkan kehidupan dari manusia yang sementara dan pasti akan habis (berakhir), Pilar Boaz and Jachin yang berada dianatara jam pasir Menurut Alkitab, Boaz and Jachin adalah dua pilar tembaga, kuningan atau perunggu yang berdiri di teras Kuil Salomon dan Kuil pertama di Yerusalem. Lambang ini berarti esoterisme yang kata ini berasal dari kata Yunani kuno ἐσωτερικός (esōterikós) yang berarti suatu hal yang diajarkan atau dapat dimengerti oleh sekelompok orang tertentu dan khusus, dapat juga berarti suatu hal yang susah untuk dipahami. Bongkahan batu kasar melambangkan anggota mason yang baru bergabung sehingga pengetahuannya masih dangkal sehingga diperlukan pembelajaran. Tangga tinggi melambangkan proses masuknya para anggota, dapat juga dikatakan tempat yang tinggi merupakan tempat yang suci untuk memasuki kuil kemanusiaan yang merupakan tujuan dari Freemason, membentuk manusia yang berkarakter sesuai dengan moral dan keyakinan yang dia wujudkan dalam bentuk perbuatan. Pada 5 Juli 1813, Letnan Gubernur Jenderal pada masa kolonialisme Inggris di Jawa, Thomas Stanford Raffles melakukan kunjungan resmi ke Loge De Vriendschap. Dalam kunjungan tersebut, diadakan upacara kenaikan pangkat sebagai anggota Freemason kepada Raffles. Dr. Dirk de Visser Smith seorang Mason yang melakukan penelitian tentang keberadaan organisasi ini di Hindia Belanda dari 1760-1860 memasukkan nama Raffles sebagai anggota Freemason pada 1813. Raffles dikenal sebagai orang yang banyak melakukan penelitian terhadap kebudayaan dan adat istiadat Jawa, sehingga melahirkan buku karya besarnya berjudul “The History of Java”. Ia juga dikenang sebagagai pengasas berdirinya negara yang sekarang bernama Singapura. Selain Raffles. Para pimpinan Loge De Vriendschap berasal dari berbagai macam profesi, seperti; notaris, dewan praja, kapiten Angkatan Laut, apoteker, insinyur, kapiten artileri, presiden dewan konstitusi (Presiden Raad van justitie), mayor jenderal, dan lain-lain. Selain orang-orang Eropa, total anggota Freemasonry di loge ini pada masa-masa awal adalah; 25 orang keturunan Arab (Oosterlingen),12 etnis China, 7 Jawa, 1 Madura, dan 5 Melayu. Foto diatas adalah kelanjutan foto sebelumnya. Lambang pada lantai difoto baru sama dengan foto lama yang menjadi ruang pertemuan anggota Loge De Vriendschap
Ruang makan para anggota Loge de Vriendschap
Foto perbandingan ruang makan para anggota Loge de Vriendschap. Sama seperti ruangan yang lainnya ruangan ini terdapat sekat-sekat yang difungsikan sebagai kamar. Namun untuk ruangan ini kurang terawat karena sudah tidak digunakan lagi (terbengkalai). Bentuk jendela dan pintu dari postingan sebelumnya memastikan bahwa ruangan inilah yang menjadi lokasi ruang makan pada foto lama. Sedangkan dibelakang terdapat ruangan yang dibatasi tembok yang nantinya akan menghubungkan dengan ruangan depan. Hampir masih terjaga keaslian ruangan ini. Bahkan motif lantai masih ada, hanya saja sangat kotor dan banyak barang-barang tak terpakai. Mungkin jika direstorasi akan didapat ruangan yang sama persis dengan foto lama. 



Kipas gantung pada ruang makan, meski sudah terdapat banyak ventilasi dan ukuran jendela begitu besar, nampaknya masih membuat orang Eropa “kepanasan”. Memang suhu di Indonesia sangat jauh berbeda dengan di Eropa terlebih di Surabaya. Perkembangan Loge De Vriendschap’ mengalami banyak kendala mulai saat tentara Jepang masuk ke Hindia Belanda hingga masa Indonesia sudah merdeka. Pada tanggal 7 April 1955 dibuat Yayasan Loka Pamitran ((Lokal) Loge, Pamitran = Persahabatan sama artinya dengan Loge De Vriendschap) untuk menaungi gerak mason ini. Konflik Indonesia dengan Belanda tentang tanah Papua berujung pada pengusiran warga Belanda dari tanah Indonesia dan menasionalisasi bangunan-bangunan kolonial, efek konflik ini membuat loji De Vriendschap memindahkan aktifitasnya ke Belanda dan menutup loji yang di Surabaya mulai tanggal 22 Februari 1959. Bangunan seluas 6.968 meter persegi (dulunya seluas 7310 meter persegi, menyusut karena ada perluasan jalan) yang ada di jalan Tunjungan (jalan Tunjungan nomer 74, 76, 78, 80, 80A, 82, 84, 86) ini masih menyisakan dilema/permasalahan status kepemilikan. Sebagian besar tanah dan bangunan sudah dimiliki pihak Yayasan Loka Pamitran sedangkan ruangan bagian depan menjadi kantor dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sayangnya pemeliharan bangunan ini jauh dari kata baik, beberapa ruangan dalam bangunan ini terlihat sangat kumuh dan tidak terawat. bahkan ada beberapa ruangan yang sangat lembab memicu munculnya pelapukan didinding bangunan. Perlunya pemugaran pada bangunan bersejarah ini agar dapat menjadi sarana wisata dan pembelajaran sejarah, besarnya nilai dan perjalanan sejarah dari gedung ini telah menjadi saksi bisu kejayaan kolonial masa lalu. Semoga gedung ini tetap terjaga keutuhanya sehingga dapat bermanfaat bagi para akadimisi dimasa sekarang. Rawat atau Musnah, hanya itu pilihan dari kita dalam menyikapi bangunan cagar budaya di Indonesia.
Prasasti yang menyatakan bahwa bangunan Loge de Vriendschap adalah bangunan Cagar Budaya


SELAMATKAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA
SELAMI KOTAMU DARI MASA LALU
JAGA KOTAMU DI MASA KINI

Sumber:
Loge de Vriendschap Soerabaia, Gedenkschrift Uitgegeven bij Gelegenheid van het 125 Jarig Bestaan,
Oud Soerabaia, Von Faber,
Wawancara Sam Ardi, periset okultisme dan administrator Grup Telegram Sejarah
Wawancara Bapak Eddi E Samson,
logedevriendschap.nl


AYO IKUTI KOMPETISI " BLOG CAGAR BUDAYA INDONESIA"
"RAWAT ATAU MUSNAH!"

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhH5q9p1-0SwCx4ppCNXU1Y37m7oQiElMSuEwopo8nZa7A7kh8O3zundzGNlxGYrUhx3rBaFL6UP5jCjbV5QyqOAFp2UAko18Vz8H0oNkKFtf8EOArHhRX2lgDv1Wf1Uby2CXUtsIr2MD0/s640/Lomba+IIDN.png

















Tuesday, November 5, 2019

N.V. ALGEMEENE NEDERLANDSCH-INDISCHE ELECTRICITEIS MAATSCHAPPIJ (ANIEM) van SOERABAIA CAGAR BUDAYA INDONESIA


Plat masa kolonial "hoogspanning levensgevaar" yang artinya "bahaya tegangan tinggi"
 

PROLOG
Kelistrikan di Hindia Belanda dimulai pada tahun 1897 ketika perusahaan listrik pertama yang bernama Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM atau Perusahaan Listrik Hindia Belanda), yang merupakan perusahaan yang berada di bawah N.V. Handelsvennootschap yang sebelumnya bernama Maintz & Co. Perusahaan ini berpusat di Amsterdam, Belanda. Di Batavia, NIEM membangun PLTU di Gambir di tepi Sungai Ciliwung. PLTU berkekuatan 3200+3000+1350 kW tersebut merupakan pembangkit listrik tenaga uap pertama di Hindia Belanda dan memasok kebutuhan listrik di Batavia dan sekitarnya. Saat ini PLTU tersebut sudah tidak ada lagi. NIEM berekspansi ke Surabaya dengan mendirikan perusahaan gas yang bernama Nederlandsche Indische Gas Maatschappij (NIGM) hingga akhir abad XIX. Pada tahun 1909, perusahaan ini diberi hak untuk membangun beberapa pembangkit tenaga listrik berikut sistem distribusinya ke kota-kota besar di Jawa.
 
Surabaya Dalam Pelita Malam Hari

Perbandingan kantor listrik di Surabaya pada masa kolonial dengan masa sekarang

Menurut von Faber kota Surabaya ketika malam pada kisaran tahun 1850 belum ada penerangan sama sekali. Para penduduk Surabaya umumnya pada malam hari hanya berdiam diri didalam rumah. Menyikapi hal ini pada tahun 1864 pemerintah kolonial memberikan ketentuan jika seorang Belanda ingin menghadiri pertemuan disuatu tempat pada malam hari maka seorang Belanda tersebut harus menyuruh pembantunya untuk mendahuluinya dengan membawa lampu sebagai penerangan dan penunjuk jalan. Pada tahun 1858 pemerintah Belanda mengadakan perubahan dengan memberikan lampu penerang disekitar jalan dengan memanfaatkan lampu ublik yang menggunakan minyak kelapa sebagai bahan bakarnya. Pada tahun 1877 diadakan persiapan untuk pembangunan pabrik gas di Gembong, sehingga penggunaan lampu penerangan beralih menjadi bahan bakar gas. Pada tahun 1923 dilakukan pembaharuan dengan menggunakan listrik sebagai tenaga penerangan menggantikan bahan bakar gas. Perusahaan listrik ini kemudian dikenal dengan nama N.V. Algemeene Nederlandsch Indische Electricities atau disingkat ANIEM. Perusahaan ini berada di bawah N.V. Handelsvennootschap yang sebelumnya bernama Maintz & Co. Ketika ANIEM berdiri pada tahun 1909, perusahaan ini diberi hak untuk membangun beberapa pembangkit tenaga listrik berikut sistem distribusinya di kota-kota besar di Jawa. Dalam waktu yang tidak terlalu lama ANIEM berkembang menjadi perusahaan listrik swasta terbesar di Hindia Belanda dan menguasai distribusi sekitar 40 persen dari kebutuhan kelistrikan di negeri ini. Seiring dengan permintaan tenaga listrik yang tinggi, ANIEM juga melakukan percepatan ekspansi. Tanggal 26 Agustus 1921 perusahaan ini mendapatkan konsesi di Banjarmasin yang kontraknya berlaku sampai tanggal 31 Desember 1960.  Bersamaan dengan melonjaknya akan kebutuhan tenaga listrik, dilakukan perluasan gedung ANIEM yang bersebelahan dengan gedung ANIEM yang lama. Desain gedung diserahkan kepada biro arsitek N.V. Architecten- en Ingenieursbureau Job en Sprey yang berkantor di Surabaya. Sedangkan, pelaksanaan fisiknya dikerjakan oleh N.V. Nederlandsche Aanneming Maatschappij v/h Fa. H.F. Boersma (NEDAM) pada  tahun 1930. Gedung ANIEM memiliki gaya arsitektur Art Deco yang dikombinasikan dengan gaya modern, yang ditandai dengan permainan garis-garis geometris, bidang-bidang datar serta permainan vertikal dan horisontal mendominasi tampak depannya. Kinerja bagus ANIEM harus terputus karena pendudukan pasukan Jepang atas Hindia Belanda pada tahun 1942. Sejak itu, perusahaan listrik diambil alih oleh pemerintah Jepang. Urusan kelistrikan di seluruh Jawa kemudian ditangani oleh sebuah lembaga yag bernama Djawa Denki Djigjo Kosja.

Perbandingan kantor listrik di Surabaya pada masa kolonial dengan masa sekarang
 
Pada tahun 1947 Belanda berusaha kembali ke Indonesia dengan melancarkan Agresi Militer. Pada saat itu ANIEM juga dihidupkan kembali. Upaya yang dilakukan adalah melakukan rehabilitasi besar-besaran terhadap pembangkit-pembangkit yang rusak akibat salah urus pada masa pendudukan Jepang. Pada tahun 1953 pemerintah Indonesia membentuk Panitia Nasionalisasi Listrik yang diketuai oleh Putuhena dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga. Panitia ini bertugas untuk meletakkan prinsip-prinsip untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan litrik swasta. Tanggal 3 Oktober 1953 Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga mengeluarkan Surat Keputusan Nomor U.16/7/5 tentang kekuasaan melaksanakan pengoperan perusahaan-perusahaan listrik partikelir. Pada tahun itu juga keluar Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 163 tahun 1953 tentang nasionalisasi semua perusahaan listrik di seluruh Indonesia. Dua surat keputusan tersebut menjadi landasan awal proses nasionaliasi ANIEM yang termasuk dalam lingkup surat keputusan tersebut. Perusahaan listrik warisan pemerintahan Hindia Belanda tersebut akhirnya dikuasai dan dikelola oleh pemerintah Indonesia melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan gedung yang dulunya menjadi gedung ANIEM juga menjadi gedung operasional PLN. Termasuk gedung yang megah di Jalan Gemblongan ini menjadi salah satu kantor yang digunakan oleh PLN, tepatnya Gedung PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur Area Surabaya Utara. Beruntung gedung tersebut terpelihara dengan baik sehingga kita dapat menyaksikan saksi bisu dari perkembangan listrik di Surabaya dari masa kolonial sampai sekarang. Sudah seharusnya kita menjaga dengan cara mempelajari warisan masa lalu sebagi bentuk penghargaan dan komitmen kita dalam menjaga keutuhan bangunan cagar budaya.

SELAMATKAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA
SELAMI KOTAMU DARI MASA LALU
JAGA KOTAMU DI MASA KINI 

sumber
Tropenmuseum
Oud Soerabaia, Von Faber
Ir Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940
Kekunaan.blogspot.com


Berikut adalah dokumentasi pribadi ketika penulis mengunjungi PLN Gemblongan di Surabaya


Panel Listrik masa Kolonial
Bunker bawah tanah dari gedung PLN

Panel listrik masa Kolonial

Kaca patri didalam gedung PLN

Balkon Gedung PLN


AYO IKUTI KOMPETISI " BLOG CAGAR BUDAYA INDONESIA"
"RAWAT ATAU MUSNAH!"

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhH5q9p1-0SwCx4ppCNXU1Y37m7oQiElMSuEwopo8nZa7A7kh8O3zundzGNlxGYrUhx3rBaFL6UP5jCjbV5QyqOAFp2UAko18Vz8H0oNkKFtf8EOArHhRX2lgDv1Wf1Uby2CXUtsIr2MD0/s640/Lomba+IIDN.png